Rabu, 24 Juni 2015

KU JAGA HATIKU, UNTUKMU

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

Ku jaga hatiku, untukmu

Dunia ini memang bagaikan neraka, penderitaan tiada akhir. Manusia saling berebut hal yang paling dia inginkan, segala cara di lakukan termasuk merusak tempat tinggal mereka sendiri. Iya bumi yang mereka tempati, bisa mereka rusak kapan saja. Ego mereka sudah membutakan bahwa bumi ini adalah titipan Sang Maha Pencipta. Hewan, tumbuhan, ekosistem mereka rusak satu per satu. Mulai dari alasan tanah milik pribadi sampai dengan alasan yang tidak bisa di benarkan, yaitu bisnis untuk kepentingan sendiri. Aku rasa tidak bijaksana bila mengikuti pola pikir, orang – orang yang seperti itu. Bumi ini ada untuk di rawat dan di lindungi, khususnya bumi Indonesia. Indonesia hadir dengan keanekaragaman budaya dan pesonanya. Bukan sebuah kata belaka, bila alam Indonesia begitu indah. Memang untuk bisa mengatakan indah, seseorang harus melihat langsung dan merasakan langsung. Begitu pula aku, aku ingin merasakan keindahan pemandangan setiap pelosok negeri ini. Berjalan menyusuri gunung melihat indahnya pohon pinus, mendengar kicauan keluarga burung di pagi hari, melihat dunia dari puncak tertinggi Indonesia. Bagaimana dengan pantai ? Aku rasa itu tidak kalah menarik, melihat gulungan ombak memecah sang pantai, melihat burung – burung memburu ikan untuk di makan, menyelam hanya untuk sekedar berkata “hello” kepada biota – biota laut. 

Semua impian itu, aku rasa sudah saatnya aku wujudkan. Bulan ini bulan Agustus, di minggu ke tiga. Tepatnya pada tanggal 22 Agustus 2015. Aku berencana akan pulang kampung ke Jambi, iya aku adalah seorang perantauan asal Jambi yang mencoba memetik ilmu di kota kembang, Bandung. Bulan depan adalah libur pendek semester di kampusku, tidak ada salahnya kalau aku pulang kampung. Walaupun hanya 2 minggu, aku rasa itu sudah cukup. Hari raya Idul Fitri pada bulan Juli kemarin, aku tidak pulang kampung. Itu semua karena ada tugas pendek dan pekerjaan sampingan yang harus aku selesaikan 1 hari menjelang Idul Fitri, jadi alangkah durhakanya aku bila tidak menyempatkan waktu untuk pulang bertemu orang tuaku. 

“Fuad, aku ingin liburan ke kampung halaman kamu boleh ? Aku penasaran kayaknya Jambi, pemandangan alamnya indah – indah...” ucap Risti, salah seorang temanku di kampus. “Tentu saja, pemandangan di Jambi itu indah... Apalagi hutannya, masih asri... Aku bukannya melarangmu untuk ikut, memangnya kau tidak malu sendirian ke sana ?” tanyaku meyakinkan Risti. “Nggak lah, aku nggak akan sendirian... Aku bakal ngajak Dewi.. Dia juga katanya mau liburan, jadi apa salahnya aku ajak dia... Kamu nggak keberatan kan ?” Risti berbalik bertanya kepadaku. “Tidak, aku tidak keberatan... Justru aku senang kalau Dewi ikut, perjalanannya akan semakin ramai...” jawabku dengan senyum. “Yaudah, sebagai gantinya.. Biar aku sama Dewi yang cari tiket pesawatnya... Kamu nggak perlu repot – repot...” ucap Risti. “Tapi.....” aku mencoba menolak tawarannya itu. “Udah nggak usah tapi ... tapi... Pokoknya tiket pesawat dari aku, sebagai gantinya lagi.. Kamu harus tunjukin ke indahan hayati di Jambi...” ucap Risti. Iya kalau begitu adanya apa daya, aku tidak bisa menolaknya. 

^_^

Akhirnya hari yang di tunggu – tunggu pun tiba, aku kembali ke kampung halamanku di Jambi. Daerah Muarasabak sudah sangat aku rindukan, para warganya yang penuh semangat juga tentunya pemandangan alam yang indah. “Nak Risti, nak Dewi beristirahatlah.. Ibu sudah menyiapkan kamar untuk kalian.. Lagi pula ini sudah sore, kalau kalian ingin bermain alangkah baiknya besok pagi saja...” ucap Ibu ku kepada Risti dan Dewi. Mereka berdua langsung masuk kamar yang telah di sediakan, wajar perjalanannya cukup jauh jadi mereka kelelahan. “Cantik sekali bang, mereka... Apa mereka berdua pacar mu ?” tanya Ayah ku. “Hush ayah... Mereka berdua hanya sahabat ku, aku tidak menaruh perasaan apa – apa pada mereka...” jawabku menyangkal perkataan ayah, ayah hanya tersenyum mendengarnya. Aku adalah anak tunggal, jadi tentu saja kepulangan ku sangat di tunggu – tunggu oleh orang tua ku, apalagi dengan kedatangan Risti dan Dewi suasana di sini menjadi ramai. Suara ketukkan pintu terdengar samar, ketika kami sedang berbicara. Ibu membukakan pintu, untuk melihat siapa orang yang berada di luar rumah kami. Ibu menyuruhku untuk menemui orang itu, katanya dia adalah orang yang aku kenal. Aku berjalan keluar, sekilas aku lihat sosok perempuan berhijab dengan tinggi yang sedang, juga dengan senyuman yang tulus di kedua bibirnya. Oh ya, aku mengenal baik sosok ini. Dia adalah Siti, anak perempuan yang rumahnya beda 2 RT dari rumahku. Dulu dia adalah adik kelas ku ketika aku masih SMA. Kami beda satu angkatan, waktu itu kami bertemu ketika aku menjadi senior untuk masa orientasi siswa baru.

“Assalammu’alaikum, Bang Fuad...” ucap Siti, membuka percakapan dengan salam yang begitu merdu. “Waalaikum’salam, Dek Siti...” balasku. “Masuk – masuk Dek Siti...” ajak ku kepada Siti, sebagai tuan rumah. “Ah tidak Bang... Aku di sini saja... Aku hanya mengantarkan makanan ke sini.. Sekalian aku ingin menengok dirimu.. Terakhir kita bertemu adalah 2 tahun yang lalu, tahun lalu kita tidak berjumpa karena pada saat lebaran kemarin... keluarga ku berkunjung ke kerabat kami... Aku ingin bersilahturahmi...” jelas Siti kepadaku. Kami berbicara cukup lama, kurang lebih 45 menit. Siti harus pulang karena waktu sudah menjelang magrib. Di kami, perempuan muslim memang alangkah baiknya sudah ada di rumah sebelum magrib, apalagi perempuan yang belum mempunyai pasangan. Percakapan kami hanya sekedar tentang kabar kami masing – masing, sudah sejauh mana kuliah ku maupun kuliah Siti, juga tentang Risti dan Dewi aku menjelaskan kalau mereka hanya sahabat ku yang ingin berlibur ke Jambi. Iya bagaimana pun juga, Siti sudah aku anggap adik jadi seharusnya tidak ada yang risau dengan keberadaan Risti dan Dewi. Ke esokkan harinya, aku mengantarkan Risti dan Dewi berkeliling di Jambi. Mereka sangat nyaman dan senang dengan kondisi di Jambi, belum serumit seperti di Bandung. Sesekali, Siti juga beberapa sahabatku yang lain ikut menemani Risti dan Dewi berkeliling di Jambi. Bahkan ada beberapa dari sahabat laki – laki ku yang menggoda Risti dan Dewi, biarlah sedikit menjadi pengalaman bagi mereka bermain dengan mojang Bandung.

Di 4 hari terakhir, aku mengajak Risti dan Dewi beserta yang lainnya bermain ke pantai pasir putih dan mangrove, di Tanjung Barat. Kebetulan cuaca di pantai sekarang ini tidak terlalu panas, jadi itu pilihan yang pas untuk membawa mereka ke pantai. Di pantai kami bermain seharian, canda dan tawa lepas begitu saja dari Risti, Dewi, juga Siti. Iya pandanganku tidak lepas ke mereka bertiga, terutama Siti. Hijab nya sesekali, tertiup angin pantai. Namun senyumannya tetap kokoh di bibirnya, sesekali aku memandanginya, tapi itu pun hanya sebentar kami belum muhrim. Aku takut apabila terlalu lama, setan akan membisikkan godaan nafsunya kepadaku walaupun hanya melalui pandangan. 

Tak terasa waktu sudah berganti malam, sudah saatnya kami pulang. Aku mencari Siti dan Risti, mereka pergi berdua berkeliling pantai. Syukurnya mereka akur, terlihat seperti mereka sudah lama berkenalan. Senang rasanya aku melihat pemandangan itu. “Oh itu mereka, sebaiknya aku menghampiri mereka.. Tunggu, sepertinya ada laki – laki yang menghampiri mereka..” Perasaanku mendadak tidak nyaman, melihat laki – laki itu, dan benar saja ternyata dia orang jahat. Aku langsung berlari menuju Risti dan Siti. Menarik mereka, tapi ternyata laki – laki itu bersama anak buahnya. Apa daya aku bukan orang yang bisa berkelahi, aku di hajar mereka. Siti dan Risti di bawa ke suatu kapal. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari mengejar kapal itu, karena jaraknya belum terlalu jauh dari bibir pantai. Ini memang berbahaya, tapi mau tak mau aku tidak bisa membiarkan mereka di bawa oleh orang seperti itu. 

Aku bersembunyi di dek belakang kapal, aku harus menunggu momen yang pas. Apalagi ini di laut lepas. Entah sudah berapa lama kami terombang – ambing di laut. Sekilas aku melihat ikan – ikan berenang berkelompok, burung – burung terbang di udara. Ke indahan hayati mereka sedikit membuatku lupa akan ketegangan situasi ini. Di ujung pandang aku melihat sebuah pulau, yang cukup ramai dengan kapal – kapal kargo. Tempat yang tidak asing, sepertinya ini di Riau. Apa yang mereka lakukan di sini ? Kenapa juga harus membawa Risti dan Siti ? Kalau mereka berhenti di tempat yang banyak orang, itu bisa menguntungkan ku, tapi kalau mereka berhenti di tempat yang sepi, mau tidak mau ini akan menyulitkan. Ternyata jauh dari harapanku, mereka tidak berhenti di tempat itu. Sepertinya mereka mau memutar pulau Riau. Ke mana sebenarnya tujuan mereka ? 

Ini sudah tengah malam, akhirnya mereka benar – benar berhenti. Di sebuah pulau yang sepi, entah di mana aku benar – benar tidak mengenalinya. “Tolong... tolong....” suara Risti terdengar, Risti dan Siti di bawa turun dari kapal. “Kita henti dulu di sini, kita tunggu penjemput dari Malaysia.. Setelah itu kita jual dua orang itu...” ucap salah satu orang yang berbadan tegap. Sepertinya dialah pemimpin kelompok ini. Aku tidak bisa membiarkannya, apalagi Risti. Dia datang ke Jambi untuk berlibur, aku lah yang menjamin keselamatannya kepada kedua orang tuanya.   

“Aku tidak mengenali pulau ini, sebaiknya aku berhati – hati... Tapi di liat dari jumlah, mereka hanya berlima...” ucapku dalam hati. Aku perlahan mengikuti langkah mereka membawa Risti dan Siti. Hingga sampailah di suatu bangunan tua di pulau itu, bangunan yang tidak terpakai. Sepertinya di sanalah mereka akan menunggu orang yang menjemput dari Malaysia. “Aku harus memisahkan mereka satu per satu...” Otakku langsung berputar memikirkan caranya. “Sepertinya, ketika mereka patroli sendiri – sendiri.. Itulah waktu yang pas...”

Dengan modal nekat dan ingin menyelamatkan mereka berdua, aku maju. Pertama – tama orang yang badannya sedikit kurus. Untung saja dia yang pertama berjaga. Aku mengikutinya ketika dia sedang ingin buang air kecil. “Ssshhhhhh....Shhh...” suara seperti itu berhasil juga menakutinya. Ketika berbalik badan, aku langsung memukulnya menggunakan batu. “Setelah orang ini menghilang, pasti teman – temannya akan mencarinya... Kalau satu orang aku bisa mengatasinya, bagaimana kalau dua ? Bahkan tiga ? Ah tidak aku tidak boleh berpikir buruk dulu...” batinku. Untuk mengantisipasinya, aku langsung membuat jebakan. Untungnya ada sedikit tali yang aku temukan, itu akan berguna juga. “Baiklah, ini sedikit mengingatkan ku tentang tali menali di zaman pramuka dulu..” Aku langsung membuat jebakan tali di pohon. Selain itu temannya yang aku pukul tadi, sengaja aku simpan dekat pohon sebagai umpan. Darah di kepalanya aku hapus, tubuhnya aku buat seperti orang tertidur.
“Hei kau.. sedang apa kau ? Mengapa kau tertidur... Huwaa...” Yes, akhirnya jebakan yang aku buat berhasil. Temannya sekarang bergelantung dengan kepala terbalik. “Hei siapa yang berani lakukan ini pada saya ?... Bo..” Sebelum dia berteriak ke bos nya, aku langsung memukul kepalanya menggunakan batu yang sama seperti sebelumnya. Sekarang sudah pasti 3 orang yang tersisa akan mencari teman – teman mereka. Mungkin 2 orang atau mungkin semuanya akan mencari. Tapi kalau melihat kondisinya, sepertinya hanya akan ada 2 orang yang mencari. Pemimpinnya mungkin akan berjaga – jaga di bangunan tua itu. Berharap pada hal seperti itu aku langsung menuju rumah tua itu, mencoba keberuntungan. Dari celah dedaunan aku mengintip ke rumah tua itu, ternyata benar ! Yang ada hanya si pemimpin komplotan beserta Risti dan Siti. “Aku harus mengalihkan perhatiannya...” aku langsung mencari cara untuk mengalihkannya. Aku gunakan batu untuk mengalihkannya, aku melempar batu ke belakang ku dengan kuat. Sehingga dia langsung berlari menuju arah batu, aku langsung berlari menuju rumah tua itu. “Fuad !...” ucap Risti. Aku langsung membukakan ikatan pada tangan Risti dan Siti. “Ayo Risti... Dek Siti... Kita harus lari, penjahat itu akan kembali lagi...” Aku langsung membawa mereka berlari, tapi sayang tidak sesuai harapanku. Siti tertangkap oleh pemimpin komplotan itu. “Hai bocah !! Teman mu yang satu lagi ada padaku... Jangan harap dia bisa hidup !...” ancam dia kepadaku. Aku terus membawa Risti ke tempat yang aman dulu. “Maaf Risti, liburan kamu malah jadi kacau...” “Kamu nggak usah minta maaf... Ini bukan salah kamu... Sekarang yang terpenting, kita harus selamatan Siti...” “Tapi... Aku harus bawa kamu ke darat dulu...” “Ad... Aku ini bukan anak kecil... Waktu aku lihat kamu ngobrol sama Siti... Gerak badan kamu, tatapan sekilas kamu ke Siti.. Aku tahu kalian saling memiliki rasa suka... Bukan hanya sekedar adik kaka... Lagian, kita nggak tau ada di pulau mana kan ? Ini malem terlalu bahaya...” Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan Risti kepadaku. “Iya Ad aku tau kok... Aku memang ngejer cinta kamu... Bahkan aku pernah ngutarain perasaan aku ke kamu... Itu juga kamu tolak... Tapi ngelihat kamu kalau sama Siti... Kamu nyaman, kamu seneng... Jadi aku bakal berhenti ngejer kamu.. lagian kamu pernah bilangkan, ada cowok yang suka sama aku... Aku sekarang udah tau kok siapa orangnya...” Iya daripada diriku, Jaka lebih mempunyai perasaan kepada Risti. Dia berhak bersama seseorang yang benar – benar mencintai dia. Hatiku sedari dulu memang hanya untuk Siti, tapi aku malu mengungkapkannya. Setelah cukup beristirahat, aku dan Siti langsung bergerak lagi. Itu karena pasti para penjahat itu mengelilingi pulau untuk mencari kami. Entah sudah jam berapa sekarang, hari sudah benar – benar tengah malam. Hanya saja malam ini ternyata purnama, penglihatan kami di pulau ini sedikit terbantu. Walaupun kami juga sedikit takut, kalau – kalau ada hewan buas yang menerkam kami. Udara di sini sangat dingin namun segar, tidak seperti di kota. “kerek..kerek...” terdengar suara orang menginjak patahan ranting pohon. “gawat itu pasti mereka.. Kita harus sembunyi...” Aku dan Risti langsung bersembunyi di semak – semak dekat pohon besar. Benar saja, ternyata mereka melintas. Siti juga ada bersama mereka. “Siall... Ke mana mereka...” ucap salah satu dari mereka, sambil memukul pohon. Entah kebetulan atau tidak, kami langsung di kejutkan dengan ular hijau yang jatuh ke muka orang itu. Sontak langsung saja ular itu menggigitnya, ular hijau bagi yang mengetahuinya memiliki bisa yang beracun. Wajah orang itu langsung membiru, itu menandakan racun ularnya langsung masuk ke wajahnya. 2 penjahat lainnya, langsung berlari membawa Siti. Aku menutup mulut Risti agar tidak berteriak. Setelah keadaan aman baru aku melepaskannya. “hah.. hah... untung... ular itu nggak ngeliat kita...” ucap Risti. “Iya Ris, itu artinya Alhamdulillah, Allah masih ngelindungin kita buat nyelamatin Siti..” Aku dan Siti benar – benar bersyukur, karena bisa saja tadi ular itu langsung menyerang kami. Jarak kami darinya hanya 1 meter. 

Aku dan Risti langsung berjalan kembali mengikuti jejak para penjahat dan Siti. Mereka masih mencari – mencari di mana keberadaan kami. Sekilas dari yang kami lihat, mereka juga trauma dengan kejadian tadi. “Ad... Kita harus cari kesempatan yang pas...” “Iya aku tau, kita harus sabar...” Aku dan Risti terus mengamati keadaan, hingga akhirnya mereka kelelahan. Sebenarnya yang kelelahan tentu saja bukan hanya mereka, sudah pasti kami pun kelelahan. “Ad, sekarang...” “Okei... Hitungan ke tiga.. satu... dua... sekarang...” Aku dan Risti langsung mengejutkan mereka dari belakang, Risti menyerang orang yang satunya dengan kayu kecil. Aku menyerang pemimpin komplotan itu menggunakan batu yang sama. “Sialan... kurang ajar kau bocah... ! Kali ini aku akan membunuh kalian semua...” Aku dan Risti langsung membawa Siti berlari. Kali ini aku sedikit lega, kami bisa melarikan diri. Tapi ini pun belum aman. Aku harus menunggu hingga matahari terbit, sehingga bisa melarikan diri dengan kapal milik mereka. Tetapi akan berbeda ceritanya kalau merekalah yang pergi duluan. Kali ini semuanya di pertaruhkan. 

“Tunggu, Fuad kita harus istirahat... Aku cape..” ucap Risti. “Tapi kita harus lari, sebelum kapalnya mereka bawa pergi...” balasku. “Tenang aja Ad.. Aku yakin mereka nggak akan ninggalin kita di sini.. Soalnya mereka ingin aman dulu, mutu mulut kita.. Terus mereka juga pasti ingin bales dendam... Kita yang udah ngebuat temen – temen mereka mati.. Lagian, Siti juga cape... Kasian...” Risti benar. Kami harus beristirahat, aku juga sudah tidak sanggup bila harus berlari lagi. Kakiku serasa ingin pecah. Aku juga kasihan melihat wajah Siti yang begitu kelelahan. Kami istirahat sebentar di dekat pohon pinus besar. Tentu saja kami tidak bisa memejamkan mata. Apabila kami melakukannya, sudah bisa di jamin entah para penjahat itu atau hewan buas akan membunuh kami. Kali ini adalah siapa yang masih terjaga juga yang paling cerdik lah yang akan menang.

Kami beristirahat cukup lama sekitar 30 menit. Itu cukup untuk memulihkan stamina. Risti sedikit merobek rok yang digunakan Siti. Itu karena akan menghambat Siti ketika ia sedang berlari. “Dooorrr...” kami langsung terkejut dengan suara tembakan pistol yang ternyata dari penjahat. Untung saja tidak mengenai salah satu dari kami, hanya mengenai pohon. Kami langsung berlari menghindari mereka. Detak jantung sudah semakin memburu, memaksa memompa darah jauh lebih cepat ke seluruh tubuh. Nyawa di ambang batas, hidup atau mati. Kami berlari ke arah bukit di pulau itu. “Awww...” Risti terjatuh, ketika aku ingin menolongnya para penjahat itu sudah semakin dekat. “Ad... lari.... selamatin diri kamu sama Siti... Cepet !!” Aku langsung membawa Siti kembali berlari. Sayangnya kali ini Risti tertangkap. Memang ada rasa penyesalan dari diriku. Aku tidak bisa melindungi mereka berdua. 

“Dek kamu harus terus lari... Abang bakal nahan penjahat itu...” “Tapi bang...” “Cepet dek... Kalau nggak ada yang nahan... Nggak bakal ada satu pun dari kita yang bisa selamat dari sini...” Mendengar perkataanku, Siti langsung berlari. Dia harus selamat, aku tidak bisa memaafkan diriku kalau terjadi sesuatu padanya. Sudah cukup dengan Risti, aku tidak mau rasa penyesalanku semakin bertambah. Aku rasa bersembunyi di balik semak – semak untuk mencegat para penjahat itu. Ketika dia melintas, aku langsung menghadang kakinya hingga dia terjatuh. Aku langsung memukul kepalanya dari belakang. Dia langsung tidak sadarkan diri, tetapi ketika aku membalikkan badannya. Ternyata itu adalah anggota komplotan penjahat itu, bukan sang pemimpin. “Gawat, ke mana pemimpinnya ? Lalu ke mana mereka membawa Risti..” Aku langsung berlari mengikuti arah Siti berlari tadi. “Aku tidak boleh terlambat... Siti dalam bahaya...” Aku memaksakan tubuhku berlari sebisa mungkin. Walaupun aku tahu tubuh ini, sudah sangat sampai pada batasnya. 

“Bruukkk...” Aku menabrak penjahat itu dari belakang. “Bang Fuad....” ucap Siti sangat ketakutan. “Dek kamu nggak apa – apa ?” “Nggak bang aku nggak apa – apa...” Aku terus membawa Siti berlari sebisa mungkin. Aku menggunakan beberapa patahan pohon, untuk menghalang penjahat itu. “Wuussh... hampir aja...” Aku dan Siti berlari hingga sebuah tebing yang cukup tinggi. “Bang kita harus lari ke mana lagi...” “Nggak tau dek.. Kita udah kejebak...” :Eh tunggu... Dari tadi kita lari di bawah pohon gede... Pohon – pohonya cukup nutup sinar matahari... Lihat ke arah timur bang.. Matahari udah terbit...” Aku tidak menyangka kami sudah selama itu di pulau ini. Sudah kurang lebih 12 jam kami di sini. Di tebing inilah, apakah kami akan selamat atau berakhir di sini. 

“Ke mana kau berlari bocah !!! Kurang ajar kau ! Kau telah membunuh semua anak buah ku !!...” ucap si penjahat itu. “Tentu saja aku melakukan itu... Kau telah menculik mereka berdua... Terlebih lagi kalau dugaan ku tidak salah, kalian akan menjual mereka ke seorang warga Malaysia...” “Wah cerdas juga kau bocah !!!... Kau benar – benar menginginkan kematianmu !!...” “Bang Fuad ini gimana... ?” ucap Siti sambil memegang tanganku dengan kuat. “Kau ingin membunuh kami ? Bunuhlah !! Ini kesempatan mu...” tantangku kepada dia. Dia langsung menarik pelatuk pistolnya, siap melepas tembakkan ke arah aku dan Siti. Aku langsung mengarahkan pantulan sinar matahari di jam ku, ke matanya. Aku langsung berlari ke arahnya untuk merebut pistolnya, dia langsung cepat menghindar dari pantulan sinar matahari itu. “Doorr...” tembakkannya di lepaskan. Tepat mengenai kaki kananku. Aku langsung terjatuh. Sekarang dia benar – benar bisa membunuh Siti. “Aku mohon... Dia orang yang berarti bagiku...” “Justru karena dia orang yang berarti bagimu... Akan sangat menyenangkan bagi saya untuk merenggutnya dari kamu...” “Nyawa di bayar dengan nyawa... Dengan mudahnya kamu membunuh anak buah saya... Teman kamu sudah saya bunuh... Sekarang yang tersisa adalah orang yang berarti bagi kamu...” “Saya mohon... Jangan bunuh saya....” Cucuran air mata sudah tak bisa tertahan lagi dari mata Siti, aku hanya terbaring lemah di tanah menyasikkan semuanya. “Dooorr....!” suara itu membuatku tidak ingin membuka mataku. “Jangan coba ganggu kami !” suara itu aku mengenalnya, Risti. Rupanya dia masih hidup, apa yang dia lakukan. “Mengapa kau masih hidup perempuan ?” “Sayangnya tembakan anak buah mu tadi meleset... Itu mengenai kalung milik ku...” tubuh penjahat itu terjatuh dari atas tebing. Di bawah tebing itu ada sungai kecil, sepertinya mengalir langsung ke laut. 

“Fuad... Siti... Kalian nggak apa – apa ? Maaf aku telat...” “Alhamdulillah kamu telat, dari pada nggak sama sekali.. Bisa – bisa sekarang aku sama Siti udah jadi mayat...” “Iya Alhamdulillah...” Siti langsung membantuku untuk berdiri, kaki pincang sebelah bukan pilihan yang baik untuk berjalan sendiri. “Bang Fuad, Kak Risti... Coba liat pemandangannya !!! Subhanallah !!!...” pemandangan dari atas tebing sebuah pulau asing yang begitu menakjubkan. Matahari terbit dengan kicauan burung, deras air mengalir, udara sejuk dan yang paling utama adalah ketenangan jiwa. “Woww Fuad.. Ini petualangan aku paling keren... Awesome Journey !!! Makasih Ad !!...” aku senang mendengar itu, liburan Risti tidak sia – sia. Akhirnya kami menuju darat, ketika akan menaiki kapal. Kapal bantuan dari darat pun datang, polisi beserta kerabat kami. Ternyata penjahat – penjahat itu adalah komplotan penjual manusia yang paling di cari. Kepolisian Jambi khususnya sudah mencari komplotan itu selama satu tahun ini. Aku harus mengikuti masa pemulihan selama 1 minggu. Risti dan Dewi pamit duluan ke Bandung untuk kuliah. Mereka juga menjelaskan keadaan yang sebenarnya kepada dosen ku, Alhamdulillahnya mereka mengerti dan tentunya senang tidak terjadi apa – apa kepada kami. 


“Dek... Kuliah abang tinggal 1 atau 1 setengah tahun lagi.. Apa dek Siti mau, jaga hati dek Siti untuk abang ? Sampai abang pulang ke sini, meminang dek Siti secara resmi ?” “Insya Allah mau bang.. Siti akan jaga hati ini untuk abang.. Hingga akhirnya abang kembali lagi ke sini.. Hingga akhirnya hubungan kita di restui oleh Allah, di ijab kabul nanti...” “Terima kasih dek.. Petualangan ini belum berakhir, kita akan menyambut petualangan yang lebih awesome lagi.. Yaitu petualangan kelak nanti, mengarungi bahtera rumah tangga....”